my-fate-with-you

My Fate With You (Chapter 4)

by Lu_llama

starring Oh Sehun & Kim Dahee

Married Life, Family, Slice of Life, Angst, Romance // PG-17 // Chapter

warning! AU! Age Manipulation

Cr.poster : https://arcee9404.wordpress.com/ (Arcee) @ https://indofanfictionsarts.wordpress.com/

.

 Tapi, tanpa sadar airmata itu jatuh begitu saja. Ini pertama kalinya sejak ia melupakan bagaimana caranya menangis, airmata menetes dari kedua maniknya.

 

.

.

.

 

 

 

 

Warning! Perhatikan rating yang sedikit dinaikan!

 

 

 

 

Dahee mematut dirinya didepan cermin, sambil memikirkan kejadian yang terjadi selama ini. Matanya menatap kosong pantulan gambar yang tak lain adalah dirinya itu. Sudah hampir 5 bulan lamanya sejak mereka mengucapkan janji setia itu sampai detik ini, semua masih terasa dingin dan kaku. Masih seperti ada jarak yang memisahkan mereka. Sehun juga masih sama, masih sulit ‘berkomunikasi’ dengannya. Namun, tanpa sadar, pelan-pelan Dahee sudah hapal dengan kebiasan sang suami. Sehun bukan seseorang yang sulit untuk dibangunkan. Sehun tidak menyukai kopi pahit, dia lebih senang sarapan dengan sandwich dan segelas kopi mocca. Sehun tidak suka seseorang mengganggunya saat ia sedang berkonsentrasi diruang kerjanya. Dahee bahkan hapal kebiasaannya menyendiri dibalkon luar saat senja mulai menyapa. Dan Sehun tidak pernah ingat dimana ia menaruh benda-benda kecil, seperti ponsel, jam tangan, kunci mobil, bahkan dompetnya sendiri, dan maka dari itu Dahee mulai menata barang-barang milik Sehun.

 

 

Dibalik sikap diam mereka, Dahee bersumpah meskipun selama ini ia jarang memberikan ekspresi berarti-hanya raut datar dan tenang- namun sejujurnya Dahee menyimpan semua perasaannya. Ia berusaha menekankan perasaan apapun itu, karena baginya semua tidak ada artinya. Toh, bagaimanapun ia mengekspresikan diri, ia akan tetap menjadi seseorang yang terkekang. Seperti itu lah hidupnya.

 

 

Lamunan Dahee terhenti saat mendapati Sehun memasuki kamar. Pria itu bahkan tidak meliriknya, ia hanya berjalan meraih jas dan tas kerjanya, namun laki-laki tinggi itu masih disibukkan dengan mencari sesuatu. Dahee mendesah. Ia melirik Sehun dan mendapati pria itu tidak menggunakan jam tangannya. Dahee yakin Sehun sedang mencari jam tangannya yang baru dibandingkan koleksi jam tangannya yang lain.

 

 

“Aku menuruhnya dilaci” ujar Dahee

 

 

Sehun melirik sekilas kearah Dahee, sebelum akhirnya berjalan kearah laci disamping tempat tidurnya. Dan benar saja, Sehun menemukannya dan langsung menggunakannya. Setelah itu, dia berbalik dan meninggalkan Dahee begitu saja.

 

 

Lagi-lagi Dahee mendesah. Sekali lagi ia memperhatikan dirinya didepan cermin sebelum akhirnya beranjak, meraih mantelnya dan mengikuti langkah Sehun dan bergabung dengan yang lain utuk sarapan bersama.

 

 

Sesampainya dimeja makan, Dahee disambut oleh tatapan ramah dari ayah dan ibu Sehun. Seperti hari-hari sebelumnya mereka makan dalam diam.

 

 

“Seperti permintaanmu kemarin” suara ayah Sehun terdengar ditengah kegiatan sarapan pagi itu “Aku sudah menyiapkan apartemen untuk kalian tinggali”

 

 

Dahee melirik Sehun, ia sama sekali tidak tau tentang hal ini.

 

 

“Bukankah sudah kubilang, kami akan pindah keapartemenku?” Seru Sehun

 

 

“Itu terlalu kecil. Kau bukan tinggal seorang diri lagi Sehun” Timpal Tuan Oh

 

 

“Itu lebih dari cukup untuk ditinggali oleh dua orang” Sehun menatap sang ayah.

 

 

“Sudahlah, aku sudah menyiapkannya. Lagipula, kalian juga harus mempersiapkan untuk calon bayi kalian kelak, bukan?”

 

 

Pernyataan tersebut, tak pelak membuat Dahee menegang. Genggamannya pada sendok tiba-tiba saja mengendur. Sedang Sehun, ia menoleh pada sang ayah sebelum akhirnya menyeruput minumannya menutupi rasa gugupnya. Demi Tuhan, masalah seperti ini sungguh sangat sensitive. Mereka bahkan tak pernah membahasnya. Jangankan membahasnya, dipikirkan saja tidak.

 

 

 

“Aku pikir, ini sudah saatnya. Apa kalian masih menunda?”

 

 

 

Dahee menunduk tak mengerti harus bersikap seperti apa. Tiba-tiba saja otaknya membeku. Degup jantungnya tak bisa terkontrol.

 

 

“Mereka masih disibukan kegiatan masing-masing, bukan begitu?” Sambung Nyonya Oh melirik Dahee dan Sehun bergantian.

 

 

“Kapan kami bisa pindah?” Sehun bertanya tanpa menatap sang ayah, ia berusaha mengalihkan pembicaraan yang tiba-tiba saja membuatnya tak nyaman.

 

 

“Secepatnya”

 

 

* * *

 

 

Mengantar Dahee sudah menjadi kebiasaan bagi Sehun. Namun, tetap saja hal itu tak lantas membuat mereka jadi dekat hingga bisa berbagi cerita dengan nyamannya. Mereka masih sama. Kaku. Dan bagi Sehun, ini hanya kebiasaan semata. Sehun masih saja menjaga jarak dengan Dahee. Meskipun nyatanya, Sehun sadar bahwa wanita itu ternyata memainkan perannya dengan baik.

 

 

Banyak hal yang sudah menjadi kebiasaan Sehun menyangkut tentang wanita ini. Dahee tidak segan untuk menyiapkan air hangat saat Sehun pulang terlalu larut. Dahee paham akan kesukaannya pada segelas ice green tea latte  yang menjadi temannya saat menyelesaikan tugas kantor, wanita itu bahkan menyiapkan pakaian yang akan Sehun gunakan untuk kekantor. Sadar ataupun tidak Sehun sudah terbiasa akan hal itu. Awalnya Sehun pikir wanita ini hanya mencari perhatiannya. Tapi belakangan ini, pikiran itu mulai menjauh karena Sehun sadar bahkan wanita ini tak memiliki ekspresi berarti untuk mencuri perhatian orang lain.

 

 

 

Seperti biasa, Sehun menurunkan Dahee tepat didepan toko milik Dahee.

 

 

“Kita akan pindah lusa”

 

 

Sehun melihat wanita itu menoleh kearahnya.

 

 

“Jadi kau bisa kosongkan jadwalmu” lanjut Sehun. Wanita itu mengangguk.

 

 

“Kenapa kita harus pindah?”

 

 

Tiba-tiba saja wanita itu kembali menoleh pada Sehun.

 

 

“Sangat tidak nyaman bukan?” Sehun balik bertanya

 

 

Dahee terdiam dengan pernyataan ambigu Sehun, tapi wanita itu tidak bertanya lebih lanjut dan keluar dari mobil Sehun.

 

 

Sehun memperhatikan Dahee dalam diam sebelum akhirnya melajukan mobil dari sana. Sepanjang perjalanan itu, Sehun tak bisa menghilangkan pikirannya tentang ucapan sang ayah. Sehun menghela nafas kasar. Hal itu tidak mungkin terjadi. Benar kan? Sehun mengelak berkali-kali berusaha mengenyahkan pikiran aneh itu. Apa ayahnya serius ingin dia melakukan hal jauh seperti itu?

 

 

Sehun menepikan mobilnya saat sampai dikantor, ia turun dari sana dan tanpa sengaja matanya menangkap seseorang yang tak asing dimatanya. Namun Sehun tak ingin ambil pusing, maka ia putuskan untuk cepat sampai keruangannya.

 

 

“Oh Sehun!”

 

 

Sebuah suara menghentikan langkah Sehun. Siapa yang memanggilnya seperti itu dilingkungan kantor ini?

 

 

“Oh Sehun!”

 

 

Dan Sehun mendapati jawabannya, saat melihat sosok yang tak asing itu berjalan kearahnya. Pria tinggi berkacamata itu melemparkan senyum lebar kearahnya.

 

 

“Apa kabar Oh Sehun?” sapanya

 

 

 

Sehun terdiam, memperhatiakan orang itu dengan datar. Jika Sehun tidak salah ingat dia adalah Park Chanyeol.

 

 

 

“Lama tidak berjumpa. Aku Park Chanyeol. Kau masih ingatkan?”

 

 

 

Tidak salah lagi, dia benar-benar Park Chanyeol. Pria yang Sehun tau sebagai siswa yang sering  terkena bully disekolah. Tapi saat ini, penampilannya sungguh berbeda. Bahkan dia berani menyapa Sehun. Padahal dulu, ia bahkan tidak berani menatap mata Sehun.

 

 

“Kudengar kau sudah menikah. Selamat”

 

 

Sehun tidak heran bagaimana pria ini bisa tau tentang pernikahannya. Karena meskipun mereka tidak begitu dekat dan tidak ada undangan untuk Park Chanyeol, mungkin saja dia melihat berita yang tersiar di surat kabar ataupun televisi nasional. Tentu saja, ini berita tentang pewaris salah satu chaebol Korea.

 

 

“Sedang apa kau disini?” Tanya Sehun yang tak berniat berbasa-basi. Sangat-Oh-Sehun-sekali.

 

 

“Aku? Aku sedang melakukan transaksi. Aku sekretaris dari direktur Kim Junmyeon”

 

 

Kim Junmyeon? Sehun mengenal Kim Junmyeon sebagai seseorang dari peruasaan K’group.

 

 

“Ternyata kau memang menyukainya. Kupikir saat itu, seorang Oh Sehun tidak mungkin memiliki perasaan itu”

 

 

Terlepas dari rasa herannya tentang kehadiran Chanyeol disana dan ketidakpedulian Sehun akan ucapan selamat itu, ada hal janggal yang Sehun dengar dari kalimat yang terucap oleh Park Chanyeol.

 

 

“Sekali lagi selamat atas pernikahanmu. Dan ternyata kau memang benar-benar mendapatkannya”

 

 

Dan Sehun masih terdiam dengan pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Apa maksud pria ini? ‘Mendapatkannya?’

 

 

* * *

 

 

Apartemen ini sungguh laus. Dengan ruang tamu, dapur dan dua kamar tidur. Apartemen ini terletak di daerah Gangnam. Tak jauh dari tempat Dahee bekerja. Designnya mewah dan elegan. Dahee menyukainya. Kamar utama yang akan digunakan mereka berdua juga sangat luas. Semua furniture sudah tersusun sempurna. Mereka hanya perlu menyusun baju-baju dan merapikan sedikit perabotan rumah.

 

 

Sehun membawa dua koper besar milik mereka. Kemudian ia berjalan kearah balkon luar kamarnya. Ini akan menjadi tempat favorit Sehun. Ia berjalan kearah kamar mandi. Setelah memeriksanya, kemudian ia keluar dan mendapti Dahee tengah merapikan buku-buku milik Sehun.

 

 

 

“Bagaimana? Kalian menyukainya?”

 

 

Suara nyonya Oh muncul dari dapur, ia membawa buah-buahan segar untuk dijadikan camilan. Tuan Oh tidak ikut serta, karena masih memiliki urusan dikantor.

 

 

“Maksud ayah Sehun, kamar kosong itu akan dijadikan kamar bayi. Tapi sementara akan dijadikan ruang kerja milik Sehun”

 

 

Lagi-lagi kalimat yang mengandung syarat akan makna itu kembali membuat suasana tegang. Kenapa harus selalu membahas masalah itu. Demi Tuhan, tanpa orang lain tau Sehun sangat risih dengan masalah ini. Telinganya suka sensitive saat mendengar hal itu.

 

 

Sedang Dahee, ia kembali menahan perasaannya. Hanya mendesah pelan, Dahee berusaha menormalkan suasana hatinya yang tiba-tiba saja terasa memanas. Dahee tidak habis pikir, kalau masalah ini akan terus diungkit. Apa yang mereka harapkan sebenarnya? Tidakkah mereka tau hubungan ini tidak seperti apa yang mereka bayangkan? Pernahkah mereka berpikir bahwa saat ini untuk berjalan sejauh ini saja terasa sangat  melelahkan? Apa mereka tidak pernah berpikir tentang kenyamanan satu sama lain yang tak pernah terlihat? Sejauh apa yang mereka inginkan? Ahh benar, bagi mereka semua terlihat berjalan lancar. Lagipula tanpa mereka tau, semua diselimuti kebohongan. Semua tertutupi dengan sebuah peran yang sebenarnya mengandung beban tersendiri.

 

 

“Bisakah kau tidak membahas itu?” Datar dan tenang, suara khas seorang Oh Sehun terdengar seperti sebuah peringatan.

 

 

“Eoh? Wae?” Tanggap nyonya Oh “Dahee, apa kau butuh liburan? Sehun bagaimana kalau kalian pergi-“

 

 

“Tidak” secepat kilat, Sehun memotong kalimat Nyonya Oh. Dia seperti tau arah pembicaraan ini.

 

 

Mendengar itu Dahee terkesiap. Dia melirik kearah Sehun yang berlalu menuju kamar.

 

 

Sadar akan sikap Sehun yang sudah semakin memanas, nyonya Oh tersenyum kecil. Kemudian tatapannya beralih pada sebuah bingkai besar foto pernikahan Dahee dan Sehun.

 

 

“Ahjussi, tolong gantung disana” perintah Nyonya Oh pada seorang pria tua yang membantu proses pindah rumah.

 

 

Foto itu tepat tergantung ditengah ruang tamu besar apartemen mereka. Dahee memperhatikan itu dalam diam. Lihat, bahkan foto itu terlihat sempurna. Tapi tidak ada yang tau akan arti dari tatapan itu kan?

 

 

Setelah sekian jam berlalu, semua sudah tersusun rapi.  Ruang tamu, dapur, semua sudah selesai dibereskan. Bahkan Nyonya Oh sudah kembali pulang. Dahee memperhatikan tempat barunya. Mulai hari ini, sebuah cerita baru akan terukir disini. Wanita itu melirik jam tangannya, dan sudah masuk waktu makan malam. Ia beranjak kedapur, dan memeriksa barang belanjaan yang dibeli oleh nyonya Oh tadi.

 

 

Tanpa berpikir panjang, Dahee mengelung rambutnya dan mulai membuat hidangan makanan. Ia dengan tenangnya meracik setiap bumbu masakan. Ia harus menyelesaika semuanya, sebelum Sehun bangun dari tidurnya. Satu point plus bagi Dahee, masakannya tidak diragukan lagi. Saat sedang asik mengeluti kegiatannya, suara bel berbunyi membuat Dahee berjengit heran. Siapa yang datang mengunjunginya.

 

 

Wanita itu berjalan kedepan, dan melihat seseorang itu melalui intercom. Ia mendapati seorang yang tidak dikenal.

 

 

“Ya?” Ucap Dahee saat membuka pintu.

 

 

“Seseorang memesan ini untuk anda” ujar seseorang yang ternyata pengantar makanan itu.

 

 

“Siapa?” Tanya Dahee

 

 

“Disini tertulis, Kim Kai”

 

 

Untuk beberapa saat Dahee termangu. Kim Kai? Nyonya Oh pasti yang telah memberi tahunya. Setelah menerimanya Dahee kembali masuk kerumah dan membuka sesuatu yang ternyata adalah bingkisan makanan. Tidak ada kartu ucapan apapun. Beralih kedapur, Dahee mulai menyiapkan hidangan kemeja makan, termasuk makanan pemberian Kim Kai.

 

 

Setelah tersusun rapi, dia berjalan menuju kamar bermaksud untuk membangunkan Sehun. Tapi nyatanya, Sehun sudah terbangun. Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi. Sepertinya ia habis membasuh wajahnya.

 

 

“Aku sudah menyiapkan makan malam” ujar Dahee.

 

 

Sambil mengikuti langkah Dahee, Sehun berteori, apa semua ini akan menjadi awal bagi mereka? Maksudnya, mereka sudah benar-benar menjalankan peran dengan baik. Ditambah lagi, mereka hanya berdua ditempat ini. Terpampang nyata bukan, kalau mereka memang sudah terikat satu sama lain?

 

 

Memperhatikan dalam diam, Sehun menatap masakan yang tersaji tanpa satupun komentar. Namun, matanya tertuju pada satu makanan yang masih tersimpan dibungkusnya. Sehun mengernyit, apa Dahee membuat itu juga?

 

 

“Apa kau membuat ini?” Tanya Sehun, sambil menatap makanan yang ternyata adalah bindaettok itu.

 

 

Dahee mendongak “aniyo” ujarnya “Kim Kai yang mengirimnya” lanjutnya pelan

 

 

Detik itu juga Sehun mengatupkan rahangnya. Kemudian  berdecak kesal. Lagi-lagi seseorang yang ingin dibuang jauh-jauh dari hidupnya kembali membuat Sehun memanas. Dan apa maksud bindaettok ini?

 

 

“Singkirkan ini” ujar Sehun sambil duduk dibangkunya.

 

 

“Waeyo?”

 

 

 

“Apa kau masih bertanya kenapa?”

 

 

“Apa kau begitu membencinya?”

 

 

“Apa kau masih perlu menanyakan itu?”

 

 

Dahee terdiam. Mengalihkan pandangannya, kala mendapati tatapan dingin dari Sehun.

 

 

“Aku tidak ingin berurusan dengannya. Meskipun itu hanya hal kecil” ujar Sehun dingin.

 

 

Kemudian ruang makan itu kembali hening dengan masing-masing mereka yang menghabiskan makan malam dalam diam.

 

 

* * *

 

 

 

“Aku tidak tau apa masalahmu, tapi tidakkah kau berpikir kau terlalu kekanakkan?”

 

 

Sehun tengah disibukkan dengan kegiatan membacanya saat Dahee berujar dengan intonasi datarnya. Wanita itu duduk ditepi tempat tidur, sedang ia berada di sisi lain tempat tidur.

 

 

“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?” Sehun bertanya dibalik bukunya

 

 

“Kenyataan saat ini, ibu Kim Kai adalah Ibumu juga.”

 

 

“Lalu?”

 

 

“Kau berusaha mengacuhkan mereka yang jelas-jelas merupakan bagian dari hidupmu”

 

 

Pernyataan Dahee sukses membuat Sehun mengalihkan fokusnya pada Dahee yang tidak menatapnya.

 

 

“Sikapmu pada Kim Kai terlalu berlebihan, terlebih pada eomoni yang begitu memperhatikanmu”

 

 

Tanpa sadar Sehun menaruh bukunya dengan hentakan keras. Dia menatap Dahee yang juga tengah menatapnya.

 

 

“Bukankah kau bilang kau tidak tau apa masalahnya? Jadi cukup diam dan jangan campuri urusanku!!” ujar Sehun sebelum bangkit dari tempat tidur dan beranjak keluar kamar. Dia bahkan menutup pintu kamar dengan cukup keras.

 

 

 

Pikiran Sehun sungguh kalut. Ia tidak habis pikir jika wanita itu bisa mengatakan hal-hal yang seketika membuatnya frustasi. Sehun benci saat seseorang membahas masalahnya. Tidak bisa dipungkiri, Sehun tak bisa mengontrol perasaannya jika menyangkut hal paling sensitive dihidupnya. Adalah hal yang paling ia hindari saat orang lain berusaha membuatnya merubah pandangannya pada keadaan yang ada. Kenyataan yang terpampang saat ini adalah ekspresi dari emosi Sehun yang tak terbendung. Seseorang selalu bersikap seolah semua yang berlalu adalah masa lalu, tapi bagi Sehun, seseorang yang perasa sepertinya selalu hidup dalam kenangan. Terkadang Sehun berharap bisa hidup dengan ingatan baru juga kenangan baru. Baginya tidak ada yang bisa mengerti perasaannya kecuali dirinya sendiri.

 

 

 

Dengan perasaan kacau, Sehun pergi dari apartmennya dan melajukan mobilnya di tengah jalan yang tidak terlalu ramai. Luhan adalah orang pertama yang menghubunginya saat ia tengah sibuk dengan berbagai macam pikiran yang menggerayanginya. Mengambil kesempatan yang ada Sehun bergegas melajukan mobilnya ke sebuah tempat dimana Luhan tengah menunggunya disana.

 

 

Sejujurnya Sehun tidak butuh siapapun saat ini. Namun, memang tidak ada tempat yang ingin ia tuju maka ia putuskan untuk menemui Luhan. Terlepas dari urusan apapun itu, Sehun tidak peduli. Yang terpenting saat ini adalah pergi jauh-jauh, menjernihkan pikirannya.

 

 

Tidak butuh waktu lama bagi Sehun untuk sampai ditempat yang dituju. Sehun menepikan mobilnya didepan kedai pinggir jalan-tempat dimana Luhan tengah menunggunya. Namun beberapa langkah ia mendekat, seseorang yang duduk didepan Luhan membuat Sehun mengumpat secara tidak sadar.

 

 

Disana Kim Kai menyandarkan tubuhnya disandaran kursi.  Dihadapannya, Luhan tengah menyeruput  soju.

 

 

Menyadari kedatang Sehun, Kai memutar kedua bolamatanya. Tak ayal hal itu membuat Luhan menoleh dan melihat Sehun yang sudah berdiri disana, namun Sehun sudah berbalik dan berniat pergi dari sana.

 

 

 

“Ya! Tunggu! Oh Sehun!” Luhan berseru dan menghadang jalan Sehun. “Sehun, tolong untuk kali ini saja. Ada yang ingin kukatakan pada kalian” ucap Luhan menyiratkan sorot memohon “Untuk kali ini saja, bersikaplah dewasa” lanjutnya

 

 

“Biarkan saja dia. Dia mungkin terlalu malu berhadapan denganku”

 

 

Suara Kim Kai sukses mengalihkan fokus Sehun. Laki-laki berkulit putih itu lantas melayangkan tatapan membunuh pada ‘musuh’nya itu. “Kau tidak salah? Kau yang seharusnya malu pada dirimu sendiri, brengs*k!”

 

 

“Apa?!”

 

 

 

“CUKUP!! KALIAN BERDUA SAMA-SAMA BRENGS*K!!”  Luhan seperti kehilangan kontrol akan dirinya. Dua laki-laki  ini benar-benar membuatnya harus berkali-kali mengurut dada

 

 

Sedang Sehun ia masih terdiam dengan rahang yang mengeras. Ia bukannya tidak kesal dengan tingkah Kim Kai. Lebih dari itu malah. Bahkan tangannya sudah terkepal kuat. Namun, ia tidak ingin bersikap gegabah, karena itu bukan Oh Sehun sekali! Hanya membuang waktu meladeni orang gila seperti Kim Kai.

 

 

“Kalian sama-sama pengecut! Sangat kekanakan” lanjut Luhan “ayo Sehun”

 

 

Mau tidak mau, Sehun menuruti Luhan yang mendudukinya dikursi kosong yang tersedia. Sebenarnya dia juga risih dengan tatapan-tatapan pengunjung sekitar yang memperhatikan mereka. Sementara matanya beradu pandang pada Kim Kai. Tatapan tajam, menusuk, tak luput dari pandangan.

 

 

“Aku merasa semua tidak bisa seperti ini terus” Luhan memulai “Tidakkah kalian sadar, sikap kalian hanya akan membuat suasana tambah memanas-”

 

 

“Aku punya alasan kenapa aku bersikap seperti ini” potong Sehun yang dibalas oleh lirikan tajam dari Kim Kai

 

 

 

“Oh Sehun, ini memang sulit, semua terjadi begitu cepat. Saat itu aku bahkan tidak tau apa yang terjadi dengan kalian sampai kalian bisa seperti ini” Luhan menoleh pada Sehun yang meneguk sojunya untuk gelas kedua.

 

 

“Dia sudah menghancurkan kehidupanku. Aku tidak akan membiarkannya begitu saja” sambung Sehun lagi

 

 

Dan yang selanjutnya terjadi adalah, Kim Kai bangkit dari kursi. Menatap Sehun dalam. “Kau tidak bisa memperlakukan ibuku semau mu! Bagaimanapun, aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya. Dia mungkin memang bersalah. Tapi kau tidak bisa seperti ini. Kau bisa MEMBUNUHNYA SECARA PERLAHAN!” Kim Kai meraih jaketnya kemudian berlalu dengan segudang kemarahan yang dibendungnya., meninggalkan Sehun dan Luhan yang terdiam.

 

 

“Ya! Kai!” Seru Luhan “Benar-benar, aku ingin mendamaikan kalian. Apa sebenarnya yang ada di otak kalian?! Huh?!” Ia menoleh pada Sehun “Oh Sehun!”

 

 

“Jangan harap” tegas Sehun kemudian kembali menegak segelas soju

 

 

 

Saat ini, Luhan tidak tau bagaimana perasaan Sehun. Laki-laki tinggi itu justru terlihat kacau. Entah sudah gelas soju keberapa yang ia minum.

 

 

 

“Sudah berapa lama, sejak kita menghabiskan waktu dirumahku hanya untuk tidur siang? Sudah berapa lama kita tidak makan bindaettok bersama-sama?”

 

 

Luhan terus bercerita, sedang Sehun masih dengan lamunan dan juga botol-botol sojunya yang berserakan. Sehun kalap, masalahnya semakin membuatnya memanas dan yang bisa ia lakukan hanya minum dan minum.

 

 

“Sehun-ah, Kapan kita bisa bersama-sama lagi?”

 

 

 

Luhan bertanya dan yang ia dapati hanya racauan Sehun yang sudah tak sadarkan diri.

 

 

“Aku membencinya hyung. Aku membencinya. Kenapa semua ini harus terjadi?”

 

 

* * *

 

 

Dahee bersumpah, dia tidak bermaksud membuat Sehun semarah itu. Dia hanya berusaha membuat Sehun merubah pandangannya. Tapi justru, Dahee dibuat tertegun karena lagi-lagi Sehun bersikap seperti ini. Tidakkah Sehun tau kalau Dahee merasakan sesak setiap saat mendengarnya mengucapkan kalimat yang menggambarkan tentang ketidakpeduliannya akan kehadiran Dahee? Dahee tidak berharap banyak. Tapi saat ini, dia hanya ingin Sehun menganggapnya ada. Dahee mencoba mewujudkan perasaannya. Perasaan terpendam yang selama ini menyesakkan dadanya. Apa dia salah? Dahee bahkan berusaha bersikap senormal mungkin, meskipun kenyataannya untuk menghela nafas saja terasa sulit.

 

 

Dahee mulai membiasakan diri dengan kebiasaan Sehun. Dia mengikuti permainan Sehun untuk bersandiwara. Dia bertahan. Sekalipun dia harus berkali-kali menahan semua keinginannya untuk sekedar bertanya bahkan menyapa.

Sehun terlalu sulit diraih. Dahee sadar, seharusnya sejak dulu Oh Sehun bukanlah harapannya.

 

 

Tapi bagaimanapun, Dahee dan Sehun sudah terikat. Dahee tidak bisa tidak peduli begitu saja akan status rumah tangganya dengan Sehun. Dahee pikir, ini adalah sebuah tanggung jawab besar. Seperti saat ini, Dahee tidak bisa membiarkan Sehun begitu saja, sedang waktu sudah menunjukan pukul tengah malam dan Sehun belum kembali.

 

 

Suara bel yang terdengar, membuat Dahee berfikir sejenak. Apa itu Sehun? Tapi bagaimana dia bisa memencet bel saat dia sendiri yang membuat passwordnya?

 

 

Dan semua itu terjawab saat pintu terbuka dan memperlihatkan Sehun yang dibopong oleh seseorang dengan keadaan yang tidak biasa. Dan Dahee cukup mengerti apa yang terjadi saat mencium aroma yang berasal dari Sehun.

 

 

“Annyeonghaseyo, Dahee-ssi”  sapa orang itu, dan Dahee merasa seperti pernah bertemu orang ini.

 

 

 

“Aku Luhan, masih ingat?”

 

 

 

Ahh,Luhan.

 

 

 

Bukan waktunya berbasa-basi, Dahee paham kondisi Sehun tanpa harus menanyakannya. Ia juga tidak peduli darimana Luhan tau tempat ini. Maka ia persilahkan Luhan masuk, dan membaringkan Sehun di sofa.

 

 

“Dia mabuk” ujar Luhan tersenyum kecil. “Tadinya aku ingin membawanya kerumah. Tapi diperjalanan dia meracau tentang tempat tinggal barunya” jelas Luhan. “Aku pulang” dan setelah itu Luhan menghilang dibalik pintu setelah Dahee sempat bergumam terima kasih.

 

 

Kini hanya ada mereka berdua. Dahee memperhatikan Sehun dengan tatapan yang sulit diartikan. Perlahan, ia berjongkok dan melepaskan sepatu milik Sehun. Kemudian, ia beralih pada wajah Sehun yang tersirat akan keletihan.

 

 

Dalam benaknya, Sehun masih sama seperti 8 tahun lalu. Dahee tidak akan pernah lupa itu.

 

 

“Sudah lama sekali, sejak hari itu Sehun-ssi”

 

 

Dahee berusaha menyentuh wajah Sehun. Namun belum sempat berhasil,  mata yang tertutup itu terbuka. Membuat Dahee terkesiap dan segera menjauh.

 

 

Sehun yang masih dibawah kesadarannya, menjauh dari Dahee dan terhuyung-huyung berjalan kedalam kamar.

 

 

 

Melihat itu, Dahee berusaha membantu Sehun berjalan tapi Sehun terus saja menepisnya. Saat sampai dikamar, Sehun menjatuhkan diri ditempat tidur. Dan kesempatan itu digunakan Dahee untuk melepas jaket dan kaos kaki yang Sehun gunakan.

 

 

“Kau!”

 

 

Ditengah kegiatannya, Dahee dikejutkan oleh Sehun yang berdiri dengan tiba-tiba dan menatap lurus dirinya.

 

 

“Kau itu juga sudah merenggut kebebasanku?! Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk memilih! Kenapa saat itu kau tidak  mengelak? Seharusnya aku tidak seperti ini!”

 

 

 

Masih terdiam, Dahee tidak perlu mencerna kata-kata itu. Hanya sekali mendengar saja, Dahee sudah sangat memahaminya. Dan hal itu seperti sebuah batu besar yang menghujam jantungnya.

 

 

 

Tanpa terduga dibawah pengaruh mabuk berat ia membuka kancing kemejanya dengan asal “Kau, apa harapanmu? Apa kau begitu mengharapkan sesuatu dari semua ini?! Huh?! Apa kau tidak mengerti bahwa cinta tidak bisa dipaksakan?!” Sehun bertanya masih dengan kesadaran yang tak terkendali. Membuat Dahee merasa sesak.

 

 

“Lalu bagaimana denganmu Sehun-ssi? Kenapa kau tidak menolaknya? Waeyo?!” Dahee berusaha menormlakan suaranya yang bergetar.

 

 

 

Bukannya menjawab, Sehun justru tertawa. Dia bahkan menunjuk-nunjuk dahi istrinya itu dengan telunjuknya.

 

 

 

Tidak tahan dengan situasi ini, Dahee menyerah, dia menyingkirkan tangan Sehun dan berniat melangkah. Namun, Sehun menarik pergelangan tangannya hingga wajah mereka berhadap-hadapan.

 

 

“Karena aku pikir, ini hanya permainan sesaat dan setelah itu aku bisa meninggalkannya sesuka hatiku”

 

 

Sehun tidak sadar saat wajahnya semakin mendekati Dahee, dan akhirnya bibir mereka bertemu. Dahee terkejut bukan main, dia berusaha mengelak namun Sehun semakin memaksanya.

 

 

Selama beberapa detik itu Sehun mempermiainkannya, Dahee hanya bisa mencengkram kemeja Sehun. Dan secara kasar Sehun melepaskan tautannya untuk mengambil pasokan udara. Sedang Dahee hanya bisa mematung dengan nafas yang terengah.

 

 

“Orang tuaku pasti sudah gila dengan menginginkan seorang bayi” Sehun terkekeh “Tapi bagaimana kalau kita mewujudkannya?”

 

 

Dan setelah itu semua berlalu begitu cepat. Dahee tidak sanggup. Demi Tuhan! Dahee tidak bisa mengelak. Betapa Sehun mengekangnya dan tak  membiarkannya lolos.

 

 

Ini tidak benar kan? Semua tidak seharusnya seperti ini. Sehun dibawah pengaruh maka ia melakukannya tanpa sadar. Tapi apa daya, Dahee hanya bisa pasrah, saat Sehun mulai memainkannya. Ini yang pertama, dan Dahee tidak tau harus bersikap seperti apa.

 

 

Tapi, tanpa sadar airmata itu jatuh begitu saja. Ini pertama kalinya sejak ia melupakan bagaimana caranya menangis, airmata menetes dari kedua maniknya.

 

.

 

.

 

.

 

Before Wedding

Oh Sehun

 

“Kenapa kau melakukan ini?”

 

Dia berusaha menahan semua perasaannya, karena seorang Oh Sehun bukan tipe pria yang gegabah hingga harus menunjukan tempramennya. Namun, Oh Sehun tetap seorang yang tidak dengan mudah menerima begitu saja sebuah keputusan sepihak.

 

“Karena aku ayahmu”

 

“Itu bukan alasan. Kenapa sampai masalah inipun kau harus ikut campur?”

 

“Dengar Oh Sehun!” Tuan Oh, orang yang menjadi lawan bicara Sehun berdiri dari duduknya. Raut wajahynya berubah sedikit mengeras setelah sebelumnya ia terus menampilkan raut tenang. “Ini bukan sekedar perintah. Ini permintaanku.”

 

“Apa alasan sebenarnya?”

 

“Pengalamanku. Aku tidak mau kau memilih wanita yang salah. Dan gadis ini, memenuhi segalanya. Aku sudah menyelidiki latar belakangnya. Dan kau mungkin kenal dia”

 

Rahang Sehun mengeras.

 

“Namanya Kim Dahee. Dia sempat bersekolah di SMA yang sama denganmu juga satu universitas denganmu dengan jurusan yang sama. Kau mengenalnya.”

 

Sehun bahkan tidak menoleh sama sekali pada sebuah foto yang ditujukan oleh sang ayah.

 

“Aku tidak tau. Dan tidak berniat mencari tau”

 

“Gadis ini tipe gadis rumahan. Dia bukan seorang yang suka menghambur-hamburkan uang bersama teman-temannya dan kau tau Sehun, gadis ini memiliki 50% saham perusahaan milik ayahnya” 

 

Sehun mendengus “Jadi ini tidak jauh-jauh dari masalah perusahaan, dan kau memanfaatkan keadaannya”

 

“Itu bukan alasan utama” Tuan Oh menatap Sehun “Aku memiliki janji pada mendiang ibunya untuk menjaganya. Gadis itu harus kau jaga Sehun”

 

 

 

 

T B C

 

 

P/S : Disini, Dahee menggunakan bahasa formal dengan Sehun. Sedangkan Sehun tidak. Jadi reader bisa membayangkannya ya. Itu udh aku kasih contoh kan yang ada ‘yo-yo’ nya dibelakang itu, aku pake kalo Dahee yang sedang berdialog.

*Bindaettok : pancake yang terbuat dari campuran kacang hijau, bawang bombay, dan kimchi

 

 

SKIIPPP~ sumpah aku gak yadong kok :3 aduhhh gak boleh dilanjut. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tau apa yang terjadii >.<

Komen aja kalo pengen dilanjut~

Komen ya, bukan sekedar ‘next’ ato ‘lanjut’ suka gak enak bacanya wkwk..okee see u next chap! Paii paii~