[COVER] Hurt_Tara

HURT

.

.

And I hurt myself by hurting you.”

.

.

Title: Hurt

Author: Tara (iamaltee.wordpress.com)

Twitter: @altee_ss

Cast: Sehun, Yoora (OC)

Rating: G

Length: Ficlet

Genre: marriage life, comfort, etc.

Disclaimer: Sehun belong to god. The story originally by mine.

.

.

 

Kulirik lagi jam di pergelangan tanganku. Menunjuk ke angka 4, jarum menit itu memberitahu bahwa sudah setengah jam aku di sini. Dan dia tak kunjung datang. Tak seperti biasanya. Ia orang yang menjunjung tinggi tepat waktu, tapi sekarang ia telat. Adakah sesuatu yang terjadi padanya? Mungkinkah ban mobilnya tergelincir dan akhirnya menabrak bahu jalan? Tidak mungkin. Cuaca di luar sedang bagus, jadi tidak mungkin ia terlambat karena kecelakaan.

 

Kusesap kopiku, rasanya makin pahit ketika suhunya mulai dingin. Aku tak suka kopi dengan gula. Bagiku, bukan kopi lagi namanya jika sudah dicampur dengan gula atau susu. Rasanya jadi tidak alami, tidak seperti kopi pada seharusnya.

 

Waktu terus berjalan, dan waktuku semakin mepet. Haruskah kutemui dia di apartemennya? Tidak. Itu hanya akan membuatku makin berat melakukan tujuanku. Aku sudah memintanya datang ke sini, dan ia setuju. Jadi tak ada lagi hal yang perlu membuatku ragu. Aku di sini dan akan tetap di sini hingga ia menandatanganinya untukku.

 

“Hei.”

 

Aku menoleh, ke belakang. Ia berjalan menghampiriku sambil tersenyum. Hambar. Tak ada sedikitpun rasa yang kulihat dalam senyumnya, dan aku bersukur karena tak perlu mewaspadai senyumannya yang mungkin bisa memerangkapku lagi. Aku tahu bahwa suatu saat, cinta kami yang dulu menggila bisa memudar.

 

Dan saat itu telah tiba. Sejak enam bulan lalu. Sejak kuputuskan hidup terpisah darinya atas keegoisanku sendiri.

 

“Duduklah,” ucapku ketika ia hanya berdiri di hadapanku.

 

Ia menurut dan kuulurkan berkas itu padanya. Aku tak ingin mengulur waktu.

 

Ia menatapku, namun tidak bicara apapun. Sembari menghembuskan napas, dia membuka map dan dengan teliti membaca berkas di dalamnya. Bagiku, itu hanya buang-buang waktu. Dia tahu betul apa isinya, dan bisa langsung tanda tangan.

 

“Pada akhirnya, kita seperti ini, ya?”

 

Suaranya pelan, namun masih bisa kudengar dengan jelas. Dari nadanya, bisa kutahu bahwa ia enggan melepasku. Ia mendongak, mata gelap itu, mata yang selalu menemaniku tiap malam, yang selalu mengisi pandangku tiap pagi….

 

Lagi, membuat jantungku nyaris berhenti. Aku memalingkan wajah, tak ingin terlarut dalam perasaan yang jelas ingin kuhindari ini.

 

“Apa tidak ada negosiasi?”

 

Kutatap lagi wajahnya. Tampak frustasi. “Negosiasi?”

 

“Ya. Ini semua hanya menguntungkan sebelah pihak. Aku dirugikan.” Ia tersenyum, pahit.

 

“Kau mendapatkan keuntungan juga, Yoora. Jangan membuat ini sulit.”

 

“Sulit? Jadi menurutmu, semua ini sudah tidak sulit?” wanita itu memalingkan wajah, menatap tirai bambu yang menutupi jendela. Aku tahu, dia hanya berusaha tegar. Dan aku…, aku berusaha kejam. “Kukira, janjimu di altar itu akan benar-benar kau tepati.”

 

Aku tersentak. Janji pernikahan yang kuucap di altar? semua orang bisa mengingkarinya. Termasuk aku. Dan Yoora juga bukan pengecualian.

 

“Apa alasanmu?”

 

“Alasanku?”

 

“Ya. Aku ingin tahu. Mungkinkah kau tidak masuk akal seperti biasanya?”

 

Hh, memangnya aku sering sekali tidak masuk akal, ya? “Menurutmu bagaimana?”

 

Wanita itu mendengus, menatapku garang. “Aku tidak membawa pulpen.”

 

Kuambil pulpen dari tasku, dan kuserahkan padanya. “Di paling bawah.”

 

“Tentu saja.” Ia menunduk, menatap lembaran itu dan menggoreskan pulpen, tepat di tempat yang kutunjukan. Yoora sudah selesai, namun tidak juga menyerahkan berkasnya padaku. Dan ia hanya menunduk, tanpa sedikitpun bicara.

 

“Were you just kidding? ‘cause it seems to me, this thing is breaking down. We almost never speak, I don’t feel welcome anymore. Baby what happened, please tell me? ‘cause one second is perfect now you’re halfway out of the door,”  Yoora bersenandung.

 

Aku mengenal lagu itu. Forever and always. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa selalu dan selamanya bersama Yoora. “Maaf,” ucapku.

 

“Terima kasih untuk segalanya.” Ia mengangkat wajah, dan melenggang pergi.

 

Punggungnya bergetar. Kupaksakan untuk tak melihatnya, namun mataku enggan beralih. Semakin ia menjauh, semakin aku sadar bahwa aku juga menyakiti diriku sendiri dengan menyakitinya. Namun apa dayaku? Aku tak bisa meneruskan kehidupanku dengannya. Segalanya mulai terasa janggal dan renggang. Dan seluruh hidupku yang mulanya berporos padanya, kini bisa kutopang sendiri. Dan inilah akhir dari aku dan Yoora. Pedih, namun tetap harus kulakukan.

 

Kkeut~

 

Terima kasih sudah baca^^ mohon tinggalkan jejak.